Perbedaan dalam menentukan tanggal 1 Syawal (Hari Lebaran pertama) mulai terjadi sejak tahun 1993. Sebelumnya tak pernah ada perbedaan, selalu sama. Setelah perbedaan tahun 1993 tersebut, berkali-kali berbeda dalam menentukan 1 Syawal.
Ada kelakar begini: Umat Kristen, Hindu, Budha, Konghuchu dan lain-lain itu lebih pintar dan bijak sebab tak pernah berselisih untuk menentukan kapan tanggal hari raya mereka, tapi umat Islam Indonesia ini paling aneh dan bodoh sebab selalu kebingungan menentukan kapan tanggal hari raya mereka. Hehehe…
Banyak yang mengatakan bahwa perbedaan itu rahmat dan mesti dimaklumi. Tetapi saya ingin mengatakan bahwa perbedaan dalam menentukan kapan tanggal 1 Syawal itu adalah sesuatu yang tidak logis. Mari kita pikirkan dengan akal sehat, yang namanya tanggal 1 Syawal itu pasti 1 (satu) hari. Bukan seperti sekarang contohnya, Muhammadiyah bilang tanggal 30 Agustus dan NU serta organisasi lainnya, termasuk yang ditetapkan Pemerintah bahwa tanggal 1 Syawal adalah tanggal 31 Agustus.
Hanya orang bodoh yang dapat membenarkan dua-duanya bahwa tanggal 1 Syawal itu tanggal 30 Agustus dan tanggal 31 Agustus. Siapapun orang Islam, pasti akan memilih salah satunya. Yang menjadi masalah adalah bahwa orang menentukan pilihan itu mestinya atas dasar kepahaman sebab itu menyangkut hukum, dimana haram hukumnya berpuasa di tanggal 1 Syawal dan sebaliknya juga pelanggaran jika tak berpuasa padahal belum tanggal 1 Syawal.
Lalu apakah hal itu akan dibiarkan terus-menerus terjadi kebodohan seperti itu? Kita sudah kenyang dengan pengalaman perbedaan, dan Alhamdulillah, tidak lagi mudah mengafir-ngafirkan kepada mereka yang berbeda dengan kita. Tetapi perbedaan dalam menentukan tanggal 1 Syawal itu, yang membuat umat Islam berada dalam spekulasi hukum, tidak memahami benar mana yang benar kapan sesungguhnya tanggal 1 Syawal itu, harus dicarikan solusi agar persoalan logika dan hukum itu dapat memberikan keyakinan yang pasti. Aneh sekali jika hanya karena pertimbangan ingin mengakhiri puasa lebih cepat maka tanggal 30 Agustus tidak puasa, tapi baru berani salat Id tanggal 31 Agustus karena para kyainya memerintahkankan ikut lebaran tanggal 31 Agustus. Tampaknya orang memandang itu sepele, tapi saya katakan bahwa pembiaran perbedaan untuk menentukan kapan tanggal 1 Syawal tersebut adalah liberalisasi agama Islam yang membodohkan umat. Bagaimana tidak bodoh jika membiarkan orang untuk membenarkan tanggal 1 Syawal itu adalah tanggal 30 dan 31 Agustus, padahal secara akal sehat tanggal 1 Syawal hanyalah 1 (satu) hari?
Untuk itu, negara harus menunjukkan kewibawaannya untuk mengatur rakyat Islam dalam beragama, seperti halnya negara mengatur kapan waktunya naik haji dengan cara apa, serta negara mengatur tatacara pernikahan, pencatatannya dan tatacara perceraian yang dilakukan menurut hukum agama. Semua itu diatur, agar tidak menimbulkan kekacauan sosial, menunjukkan bahwa negara berfungsi.
Guna menghindari kebodohan itu maka negara harus tegas, dengan metode yang ilmiah, rasional dan mau tidak mau memilih landasan syar’i yang digunakan oleh umat Islam pada umumnya, untuk menentukan kapan tanggal 1 Syawal. Selama ini negara telah mengatur itu dengan menentukan kapan tanggal 1 Syawal. Sayangnya keputusan pemerintah itu tidak diberi nilai hukum yang mengikat. Secara teori hukum itu juga hal yang aneh, mengapa keputusan negara kok tidak mengikat. Diikuti boleh, tidak diikuti boleh. Jika begitu, apa gunanya keputusan seperti itu? Hukum macam apa itu?
Hal yang sederhana itu ada yang membenturkan bahwa Indonesia bukan negara agama, sehingga tidak mengatur agama. Ya, bahwa Indonesia bukan negara agama, tapi cara-cara umat beragama menjalankan hidup mereka tetap harus ditata. Apalagi dalam Islam, tak ada perbuatan hidup ini yang baik yang tak terkait dengan agama. Jika cara hidup umat Islam tak diatur dengan negara, lalu apakah akan membiarkan umat Islam hidup semau-maunya sendiri membuat perbedaan-perbedaan yang kian lama kian liberal?
Negara, bagaimanapun juga berfungsi pula untuk memutuskan perselisihan-perselisihan dan keputusannya mengikat. Jika pemerintah, atas nama negara, telah menetapkan kapan tanggal 1 Syawal, maka rakyat Islam di Indonesia haruslah tunduk. Jika itu benar menjadi kebenaran bersama, jika itu salah menjadi kesalahan bersama yang bernilai benar, sebab kesatuan umat menjadi pertimbangan yang utama.