love

love

Anggin Wahyu Herawati

Foto saya
Pacitan, Pacitan-Jawa Timur, Indonesia
Hi, kawan! Perkenalkan nama saya ANGGIN WAHYU HERAWATI, seorang cewek yg dilahirkan pd tgl 8 Oktober 1987 di Pacitan, dan prnh sekolah di SDN Baleharjo 2, SMPN 1 Pacitan, SMA N 2 Pacitan, serta Universitas Negeri Semarang (UNNES) dg menyandang gelar S,Pd. dari jur.B.Inggris. Saya ucapkan terima kasih pd kalian yg udh menyempatkan mampir di blog saya ini. Blog ini merupakan buah pikiran saya mengenai berbagai macam isi hati saya tentang masalah yang saya hadapi, kritikan, saran, atau segala sesuatu yang jarang atau belum dipublikasikan. Dan Alhamdulillah yah,,,Tulisan2 yg ada di blog ini sudah cukup banyak yg sukses terekam dlm rmh Mbah Google.Hehe.. Atau mungkin kalian bisa mampir di blog ini karena mendapatkan petunjuk dari Mbah Google. Okay dech, Selamat menikmati blog ini yah :)

Blog Pembuka Diisi oleh Foto Narsis Bareng Bupati Pacitan (Bp.Indartato) serta Segenap Rekan Kerja

Blog Pembuka Diisi oleh Foto Narsis Bareng  Bupati Pacitan (Bp.Indartato) serta Segenap Rekan Kerja

Senin, 22 Agustus 2011

HUKUM DI INDONESIA YANG MAKIN SEMRAWUT

KITA semua pasti sependapat bahwa Indonesia adalah negara hukum. Setiap orang mengatakan, sebagai warga negara yang baik, akan mentaati hukum. Tanpa penegakan hukum yang adil bagi seluruh rakyat, tidak mungkin ditegakkan demokrasi, tidak mungkin ada keadilan hukum, dan tidak mungkin ada perlindungan hukum. Hukum akan bisa dipermainkan. Siapa yang bisa mempermainkan hukum?

Tentu saja orang–orang yang berkedudukan istimewa, kuat, berpengaruh, dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi proses hukum. Mungkin dengan kekuasaannya, mungkin dengan kekayaan yang dimilikinya, dan 1001 jalan yang tidak lazim lainnya. Inilah sebabnya bahwa lembaga penegak hukum mestinya harus independen dari lembaga lainnya, agar bisa menegakkan semboyan "tegakkan hukum meskipun langit akan runtuh".

Tetapi konsep seperti itu tidak jalan di Indonesia sekarang. Sungguh ironis, ada campur aduk peran, sehingga proses hukum di Indonesia semakin semrawut. Kita pasti prihatin akan terjadi Komisi Yudisial Vs Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial akan memeriksa para hakim yang diduga melanggar etika. Dapat dipahami, kalau benar ditemukan pelanggaran etika, proses hukumnya bisa dipersoalkan.

Silakan periksa hakim, biar peradilan kita kacau, kata Ketua Mahkamah Agung. Selain itu, juga mungkin akan terjadi MK Vs KPK, terkait kasus Nazaruddin, bahkan MK Vs Kepolisian, terkait laporan kasus Andi Nurpati. Demikian juga kemungkinan DPR Vs KPK, terkait kasus Bank Century. MK sendiri, sekarang sedang dipersoalkan, begitu besarkah kewenangannya, sehingga bisa mengesankan bisa menjadi lembaga legislasi baru? Memiliki kewenangan membatalkan Undang Undang atau pasal–pasal UU yang dibuat oleh lebih 500 anggota DPR yang dipilih rakyat, sementara hakim MK hanya 9 orang, dimana keanggotaannya tidak dipilih rakyat? Menjadi lembaga super legislatif? Karena itu ada kabar, ada suara hendak merevisi UU tentang MK, yang akan membatasi peran legislasinya. Gejala seperti itu tidak mustahil akan berdampak goyahnya stabilitas politik. Apa yang terjadi kalau borok–borok itu terkuak seluruhnya? Apa yang akan terjadi, kalau benar ada pemalsuan dokumen keputusan MK? Berapa banyak anggota DPR yang haram? Dan berapa pejabat lain yang haram, kalau jabatan Deputi Gubernur BI saja prosesnya diselubungi kasus suap? Kalau sudah ada mafia hukum, sekarang ada mafia KPU dan mafia apa lagi?

Mengapa bisa terjadi? Kita tidak ingin melempar tanggung jawab. Itulah produk kita semua. Adanya MK, Komisi Yudisial, dan KPK adalah produk reformasi, yang dimaksudkan untuk menegakkan hukum yang adil, mencegah adanya UU yang menyimpang dari UUD 1945 serta meningkatkan pemberantasan korupsi dan menegakkan check and balance.

Demikian juga KPU yang bebas dari parpol, agar pemilu bisa berlangsung dengan jujur dan adil. Bahwa ternyata realitasnya berbeda dengan tujuannya, inilah yang harus dievaluasi, agar tidak mencederai reformasi. Wajar kalau kemudian lahir istilah–istilah baru, dari Revitalisasi Pancasila, Restorasi Indonesia, dan kembali ke UUD 1945 yang asli. Sebab, sudah ada kekhawatiran, Indonesia bisa menjadi negara gagal, meskipun sulit dipercayai.

Aneh, negara yang kaya sumber daya alam ini dengan letaknya yang sangat strategis, menjadi negara gagal. Apa kata dunia????? Mungkin sudah saatnya kita berusaha menahan diri, melakukan introspeksi, bahkan oto kritik, apa salah kita masing–masing? Kesediaannya melakukan introspeksi merupakan modal yang sangat berharga untuk mengatasi keruwetan hukum itu. Apa peran kita di depan hukum untuk menegakkan hukum yang adil?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar